Foto Karya S Sudjojono - Sumber: Besti Rahulasmoro |
"... dan kalau seniman mempunyai watak dua ini (Kesenian, Kunstenaarschap dan keberanian), maka dengan sendirinya mereka mempunyai semboyan: Kebenaran dan Keindahan ..." (S.Sudjojono)
Sindudarsono Sudjojono yang paling suka di panggil Pak Djon, lahir di Sumatrea Utara, 14 Desember 1913. Kemauannya untuk menjadi seniman tidak setengah-setengah, juga bagaimana penguasaannya terhadap teknik lukis ia tekuni dengan totalitas.
Selain melukis
juga aktif dalam organisasi politik dan kebudayaan. Ia mendirikan Persatuan
Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI) di Jakarta, tahun 1937 yang sekalighus menjadi
awal sejarah seni rupa modern Indonesia. Seorang nasionalis sejati yang tak
pernah lelah menangisi segala bentuk ketidakadilan terhadap rakyat.
Pak Djon selalu berpikir, memberi konsep, menulis, berpolitik, dan memotivasi dunia seni rupa untuk tampil aktif sebagai pejuang melalui karya-karya seni “Jujur pada diri sendiri selalu di pegang dan dibawanya untuk diwariskan kepada orang lain”. Sikap inilah yang membuat dirinya tidak pernah takut pada serangan, caci maki, kritik pedas yang dilontarkan pada dirinya. semuanya selalu dijawab dengan jujur, lugas, konsisten dan rendah hati.
Sejak akhir
1930-an hingga dekade 1940-an, kepeloporan S. Sudjojono dalam hal pengembangan
seni lukis di tanah air sulit di sangkal. Dia tidak saja membangun seni sebagai
sebuah pengertian sebagaimana yang dinyatakan oleh Rivai Apin, melainkan juga
merumuskan pengertian tersebut sebagai kesadaran baru, yang merintis munculnya
nilai-nilai baru, paradigm baru dalam praktik seni lukis.Selama hidupnya S.Sudjojono bukan hanya seorang
pelukis nasionalis yang sangat menguasai tekhnik melukis tetapi juga pemikir
dan kritikus seni rupa. Ia pula yang menciptakan dan mempopulerkan
istilah Seni Rupa, Seniman dan Sanggar.
S.Sudjojono yang dijuluki sebagai Bapak Seni Lukis Modern Indonesia, merumuskan pengertian “apa itu seni” dalam kalimat pendek yang belakangan menjadi kredo yang sangat popular di dunia seni rupa, yaitu : “Jiwa Ketok, atau Jiwa Tampak”, berikut ungkapannya:
“Apakah kesenian itu? ….. untuk menerangkan kesenian itu saya tidak bisa, tetapi barangkali saya bisa dengan jalan contoh-contoh dari buah-buahan buatan orang yang sampai sekarang diakui sebagai buah kesenian membuka sedikit tabir dunia kesenian sampai bentuk kesenian tadi bisa terlihat. kalau seorang seniman bisa membuat suatu barang kesenian , maka sebenarnya buah kesenian tadi tidak lain dari jiwanya sendiri yang kelihatan. Kesenian adalah jiwa ketok. Jadi kesenian ialah Jiwa…”.
Sudjojono telah melahirkan ratusan karya dengan berbagai macam kecenderungan tema dan teknik. Pada masa awal Persagi lukisan Sudjojono cenderung ke ekspresivisme, dengan sapuan warna kasar dan kelam. Hal ini seakan hendak melawan kehalusan kuas serta kecemerlangan warna-warna pelukis naturalis yang dominan pada waktu itu.seperti pada lukisan yang berjudul Main (1938), Di Depan kelambu Terbuka (1939), Cap Go Meh (1940).
Beberapa tahun sesudah kemerdekaan Indonesia, terjadi perubahan yang cukup radikal, S.Sudjojono mencanangkan kembali ke realisme, pada masa ini keterampilannya melukiskan benda-benda dan suasana keseharian tampak jelas pada lukisan figure manusia. Sepanjang decade 1950 -1960an lukisan-lukisan Sudjojono masih memunculkan citra realistik dan beberapa karyanya memadukan sapuan-sapuan yang mengesankan bentuk-bentuk yang belum selesai. Perpaduan tersebut tampak dalam karya-karya Sudjojono selanjutnya.
Beberapa karya S.Sudjojono yang khusus diantaranya: Kinderen met kat (anak-anak dengan kucing) adalah lukisan yang mendapat penghargaan tahun 1937 ketika berpameran bersama pelukis Eropa di Kuntskring Jakarta, Mr Uno and the Golden Princess,; lukisan yang dibuat pada tahun 1970, adalah pesanan menteri Luar Negeri saat itu Adam Malik sebagai hadiah untuk PBB pada hari jadi ke 25 atas nama pemerintahan Indonesia, Pasar Ikan; lukisan yang dihadiahkan pemerintah Indonesia tahun1973 kepada Ratu Elizabeth Inggris ketika berkunjung ke Indonesia, Peperangan Sultan Agung melawan Jan Pieterzoon Coen berukuran 3 x 10 meter yang spektakuler kini masih tegak berdiri si salah satu dinding Musium Sejarah-Jakarta
Pameran Pak.Djon dan Kawan-Kawan
Galeri canna dan Sudjojono Center menggelar Pameran “Sang Ahli Gambar” yang berlangsung tanggal 14 oktober – 10 November 2010 di Galeri Soemardja FSRD ITB Jl Ganesa 10 Bandung. Memasuki ruang pamer kita akan dihadang oleh puluhan sketsa dan drawing yang di pajang di hampir di seluruh dinding. Dalam pendisplayan karya, pengunjung memperoleh gambaran tentang perjalanan dan kesabaran Sudjojono.
Kebiasaaan Sudjojono menuliskan kata-kata pada setiap karyanya cukup menarik perhatian pengunjung untuk mendekat, membaca dan menelusuri tiap kata, ada yang berupa catatan biografis, catatan keseharian, ungkapan verbal dari pengucapan karyanya, bahkan lintasan-lintasan spontan yang tidak ada kaitannya dengan visual/objek yang digambarkan.
Di pameran ini pula pengunjung dapat mengetahui bagaimana seorang seniman melakukan sebuah reset gambar. Sebagian antara lain; Pada tahun 1973 Sudjojono mendapat pesanan dari Gubernur Jakarta Ali Sadikin untuk membuat sebuah lukisan sejarah “Pertempuran Sultan Agung melawan Jan Pieterzoon Coen” berukuran 3X10 m yang sekarang menjadi koleksi museum sejarah di Jakarta. Dengan adanya pameran ini bagaimana Sudjojono melakukan riset berupa puluhan sketsa dan gambar-gambar yang diberi No, tak kalah penting ia menyertai catatan-catatan kaki di sana sini. Sedapat mungkin Sudjojono ingin mendekati kebenaran sejarah. Bagaimana ia menginvestigasi watak tokoh, kostum, ikatan rambut, senjata, ukuran kuda , kapal, tenda-tenda prajurit lanskap sampai warna gigi manusia jawa pada abad ke 17.
Bahkan untuk keperluan ini Sudjojono masuk keluar musium, menghabiskan waktu lebih dari tiga bulan menetap di Belanda, dan berpameran tunggal di Hotel des indes, Den Haag. Pada waktu itu pula secara khusus beliau singgah ke Hoorn kota kelahiran J.P.Coen di sebelah utara Amsterdam yang merupakan salah satu kota ekonomi terpenting pada jaman VOC (Verenigde Osst Indische Compagnie).
Tepat ditengah ruang pamer beberapa buku di tutup oleh kaca transparan. Buku gambar Sudjojono yang memuat sejumlah sketsa dan catatan-catatan pada masa itu; garis-garis awal sketsa sultan agung, lapangan golf di pondok indah dan beberapa sketsa mengenai tumbuhan, buku yang berisi salah satu contoh gambar Sudjojono yang di muat di mingguan Fikiran Ra’jat no 26 edisi 23 Desember 1932. dan buku satu-satunya yang cukup lengkap berjudul “Seni loekis kesenian dan seniman” menghimpun pemikiran-pemikiran sudjojono. buku kecil tipis, 79 hal terdiri dari 12 artikel yang mewakili keluasan Sudjojono, dan 12 artikel diantaranya yang merupakan buah pikiran Sudjojono semasa Persagi yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1946 oleh penerbit Indonesia sekarang.
Owner Galery Pada Waktu Pembukaan Pameran - Sumber: Besti Rahulasmoro
|
Indah, dalam artian adanya tindakan kebersamaan (sharedness) yang artinya setiap unsure berkomunikasi timbal balik “mendekati” yang lain. Dalam sehari pembukaan pameran berlangsung di beberapa titik, sebutlah pada tanggal 16 November 2010 yang lalu. pembukaan diadakan di padi Art Ground Pk. 14.00wib, dilanjutkan di Lawang Wangi Pk 16.00, lalu di Griya Popo Iskandar (GSPI) Pk. 19.00 WIB. Sebuah strategi yang dapat membangun dan saling mengisi. Dimana akhirnya Pengunjung pertama akan melanjutkan datang ke pameran ke 2 dan ke-3. Kita bolehlah tersenyum, tiada hari sepanjang oktober sd November di Bandung adalah hari tanpa pameran seni rupa.
Tak dapat dipungkiri bahwa kepentingan dari pameran tersebut tak lepas dari sosok S.Sudjojono yang sudah hampir dua puluh lima tahun meninggal, Namun karya dan Pemikiran-pemikirannya tetap abadi, menyumbangkan gerak bagi perkembangan seni rupa di Indonesia sampai saat ini. Menurut Aminudin Th. Siregar pemilihan bulan oktober sebagai bulan penyelenggaraan pameran S.Sudjojono secara sadar sebab berkaitan dengan, pertama; bulan Oktober, 60 tahun yang lalu adalah bulan penyematan Bapak Seni Lukis Indonesia Baru oleh Trisno Sumardjo kepada Sudjojono, kedua; walaupun masih dalam perdebatan, bulan oktober – berdasarkan arsip-arsip yang ada – adalah tahun berdirinya PERSAGI (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia), dengan adanya/ berdirinya PERSAGI menandai kesadaran baru di dalam menilai praktik seni rupa, ketiga; S.Sudjojono yang pertama kali mempopulerkan istilah dalam seni rupa ke dalam bahasa Indonesia merupakan semangat sumpah pemuda yang tepat jatuh pada 28 oktober “berbahasa satu bahasa Indonesia”.
Ada yang menarik disini, terjadi semacam interaksi antara pemilik galeri dengan pemilik galeri lainnya, galeri dengan seniman, seniman dengan seniman. sebuah interaksi yang dibangun oleh satu gagasan tema pameran. Pencairan atas apa yang selama ini membatu, menjadi desas desus atas kondisi di medan seni rupa. Dengan tribute untuk sudjojono akhirnya Yang muda dan yang tua bisa berdampingan dalam satu ruang pamer, yang realis yang surealis bisa berdampingan dalam satu kebersamaan, tidak ada benteng antara seniman otodidak dan akademis.
Seperti penjelasan Aminudin Th. Siregar sebagai kurator pameran “pameran ini terbuka untuk siapa saja, atas dasar rekomendasi dari galeri, yang kemudian ada proses pengkurasian (penempatan karya di tiap-tiap galeri) mengingat pameran-pameran biasanya hanya dilakukan dibeberapa galeri, dan kondisi yang tidak kondusif, jarangnya konsilidasi antara seniman dan galeri di Bandung. Dengan adanya pameran semacam ini semoga bisa menjembatani seniman yang senior dan junior, dan dapat dilakukan pemetaan kembali seni rupa di Bandung”
Semangat Sudjojono dalam event pameran ini memang sudah terasa sejak isu pameran mulai di munculkan. para seniman mulai membuka lagi ruang-ruang diskusi santai tentang sejarah seni rupa, bahkan ada beberapa ruang-ruang seni melakukan diskusi/ membedah sosok Sudjojono dan pemikirannya sebuah kegiatan yang bisa dibilang jarang saat ini. Barangkali kondisi seni rupa sekarang ini selain membutuhkan juru bicara, juru tulis memang membutuhkan sebuah polemik yang seru, sportif dan cerdas. kritik/perlawanan baik dengan pandangan yang kristis analistis maupun pandangan yang sifatnya paedagogis, dari situlah akan terjalin sebuah jalinan yang kuat.
Dalam penjelasannya Aminudin Th Siregar juga memaparkan bahwa; Tribute untuk Sudjojono Walaupun figure sentarlnya adalah S. Sudjojono, tidak menyarankan terciptanya visualisasi yang akhirnya terjebak pada tafsir permukaan, yaitu pelukisan potret S.Sudjojono, pameran ini mendesak terciptanya tafsir-tafsir yang jauh lebih dalam tentang S. Sudjojono baik tentang karya-karyanya, tentang pemikirannya maupun semangatnya.
Dan itu tampak pada pameran Tribute Sudjojono di tiap ruang galeri-galeri di Bandung diisi oleh beragam lukisan dengan corak abstrak, dekoratif, ekspresif, instalasi dengan berbagai macam tema; ada social, ada politik, ada pribadi, dll, Mereka saling berhadapan saling bersebelahan, Di setiap pembukaan pameran , tampak ramai pengunjung, ramai dengan keberagaman warna, namun entah kenapa terasa sunyi. Semangat Sudjojono adalah Semangat untuk membangun sebuah Kritik yang akhirnya membangun iklim kompetisi, apresiasi,
Sayup-sayup terdengar sebuah bisikan: “Pak Djon... kami merindukan sebuah pergolakan, sebuah ruang yang penuh dengan dialektika, kawan-kawan kenapa bermonolog ayo mari kita berdialog!!”
(Besti Rahulasmoro: Koran Harian Radar Bandung, 28 Oktober 2010)
0 comments:
Posting Komentar