Self-portrait Art Exhibition, Merayakan Diri Seniman di Galeri SOS

Pengunjung tengah mengamati karya dalam pameran "Self Portrait" di SOS
Sumber: Rupa dan Kata

Jika orang umumnya menganggap selfie untuk menandai kecintaan pada diri alias narsis, maka bagi para pelukis, self-portrait menjadi ritual yang sangat personal; ia meleburkan subjek dan objek ke dalam potret diri yang dilukisnya. Namun ia pun sekaligus menjadi apresiator.

Fenomena itu dimunculkan dalam Self-portrait Art Exhibition di Galeri Sanggar Olah Seni, Babakan Siliwangi, Bandung, 17 Juli hingaa 10 Agustus 2022, yang melibatkan 165 seniman Bandung – beberapa orang dari luar Bandung. Masing-masing seniman menampilkan satu karya lukisan potret diri mereka.

Pada 17 Juli lalu, pameran dibuka yang dihadiri ratusan seniman yang sekaligus menjadi apresiator, mereka juga membawa rekan dan membaur dengan pengunjung. Galeri Sanggar Olah Seni yang baru beberapa bulan dibangun itu menjadi riuh dengan pameran yang terbilang langka, apalagi melibatkan lebih dari 100 orang seniman.

“Ada orang yang bilang begitu [Mungkin self-portrait ini pameran yang langka],” kata Toni Antonius, seniman peserta pameran self-portrait sekaligus panitia acara karena ia juga manajer Galeri SOS, Sabtu (24/7/2022).

Hasilnya, lukisan diri dengan beragam ukuran dipajang di Galeri SOS. Seperti tema pamerannya, lukisan yang dihadirkan umumnya berupa potret diri dengan beragam ekspresi, ada yang tampak galak seperti potret diri Isa Perkasa, ada seniman yang berpose menyerupai Bob Marley, sebagian besar menampilkan wajah secara utuh atau jelas.

Ada seniman yang hanya menampilkan sepotong wajah, sepasang mata yang mengintip di balik tirai warna hitam, wajah yang didominasi bayangan merah dan hanya memperlihatkan kacamatanya saja, sepenggal wajah, wajah penuh dan utuh dilengkapi warna-warna terang, gelap, hitam putih, bermasker, bayangan abstrak, dan sebagainya.

Bahkan ada juga juga beberapa pelukis yang menampilkan objek lain yang berkaitan dengan personalnya, misalnya benda-benda yang bagi orang lain mungkin tak penting. Toni Antonius sendiri menampilkan gambar dirinya yang dilukis dengan oil on canvas. Ia tidak menyajikan potret diri yang seutuhnya karena ada distorsi berupa bintang di tengah-tengah wajahnya, namun di dalam bintang tersebut menampilkan wajahnya lagi. Sehingga self-portrait Toni tampak ganjil.

Mengenalkan Galeri SOS

Suasana Malam Pembukaan Pameran "Self Portrait", Sumber Foto: Rupa dan Kata

Self-portrait Art Exhibition ini bisa dibilang hajatan besar pertama yang digelar Galeri Sanggar Olah Seni. Menurut Toni Antonius, Galeri SOS tadinya sebuah bangunan sederhana dan nyaris runtuh yang berdiri di tengah hutan kota Babakan Siliwangi. Para seniman seperti Tisna Sanjaya dan kurator Asmudjo Jono Irianto kemudian merancang perbaikan galeri ini sampai jadilah Galeri SOS.

“Galeri belum ada setahun. Tadinya ruangannya mau runtuh, jadi dibangun dalam bentuk art space, namanya Galeri SOS. Jadi SOS sekarang punya galeri khusus event pameran representatif,” jelas Toni Antonius.

Dengan kata lain, sekarang Sanggar Olah Seni bukan hanya sanggar seni, melainkan memiliki ruang pameran juga. Sanggar Olah Seni merupakan kelompok seni legendaris di Bandung. Banyak seniman kenamaan yang sebelumnya mengawali kariernya di SOS.

Toni merupakan Ketua SOS tahun lalu yang kini duduk sebagai manajer Galeri SOS. Untuk mengenalkan lebih lanjut mengenai Galeri SOS, ia dan kawan-kawan menggelar Self-portrait Art Exhibition yang mengundang 165 seniman. Para seniman yang hadir mayoritas dari Bandung Raya, beberapa dari Jawa Barat, walau ada juga dari perwakilan sanggar di luar Jawa Barat, seperti Banyuwangi.

Pemilihan tema pameran self-portrait juga ada kaitan dengan pengenalan galeri, yakni sebagai silaturahmi antarseniman maupun apresiatornya, publik seni rupa. Bahwa SOS kini punya Galeri SOS sebagai ruang untuk berkesenian bagi siapa pun. Dengan hadirinya beragam seniman melalui karya lukisan diri mereka, secara simbolik ditegaskan bahwa Galeri SOS terbuka untuk semua pelukis.

“Ketika ada ide untuk berpameran apa pun, ruang ini bisa menjadi alternatif. Misalnya, ketika dia bosan, dosen bosan di kampus, mungkin bisa pameran atau workshop di sini,” katanya.

Lalu, tema self-portrait sengaja dipilih agar pelukis yang diundang tidak terbebani dengan tema lain yang mungkin akan memberatkan. Sebab, tema diri sudah ada pada masing-masing pelukis. Toni juga merasa penasaran dengan karya-karya potret diri dari para pelukis yang selama ini lebih banyak melukis objek di luar dirinya.

“Jadi tujuannya selain silaturahmi, penasaran apakah mereka pernah tidak garap dirinya. Kan ada seniman yang keren menggarap model atau figur lain, saya penasaran gimana kalau dirinya muncul dalam karya,” katanya.

Di sisi lain, setiap seniman memiliki pandangan berbeda terhadap potret diri. Dengan menjadikan diri sebagai objek lukisannya, maka seniman akan menghadapi kenyataan bahwa ia akan dibawa pada ruang privatnya. Beda halnya dengan melukis model orang lain.

Ada seniman yang sudah terbiasa menggambar dirinya dan ada seniman yang jarang membuatnya. Toni sendiri sudah biasa menggambar potret dirinya.

Tujuan seniman menggambar potret diri beragam, mulai untuk kepentingan studi hingga alasan filosofis, yakni karena dia menganggap dirinya sebagai subjek yang mewakili manusia secara universal. Bahwa diri yang ditampilkannya adalah manusia yang tidak berbeda dengan model-model di luar dirinya.

“Memang tidak ada keharusan seniman menggambar dirinya sendiri. Cuma ada banyak seniman yang pernah menggarap self-portrait dengan tujuan seperti tadi, mungkin bosan dengan model lain atau karena tujuan pribadi juga. Meski tidak sedikit seniman yang tidak terbiasa membuat self-portrait, mungkin menganggap geli, karagok,” katanya.

Teknik atau metode para pelukis dalam membuat self-portrait beragam mengikuti perkembangan zaman. Mulai menggunakan cermin, fotografi, dan alat bantu digital lainnya.

Perjalanan Panjang Potret Diri

Di Indonesia, penggunaan potret diri dalam lukisan pertama kali diduga digunakan oleh seniman modern pertama Indonesia, Raden Saleh. Pada perkembangan selanjutnya, potret diri digunakan oleh para seniman sebagai bahasa ungkap.

“Pada perkembangan selanjutnya penggambaran potret diri tak lagi hanya sekadar untuk membangun image dan karakteristik belaka, namun juga menjadi kendaraan seniman untuk menyuarakan identitasnya secara lebih mendalam. Kemudian karakteristik personal yang berbeda menjadi hal unik yang coba digali oleh masing-masing seniman,” kata kurator pameran, Rizki L. Wiguna, dalam catatan kuratornya.

Rizki L. Wiguna menjelaskan, potret diri yang hadir dalam sebuah karya seni merupakan penyampaian identitas seniman sebagai representasi dari jiwa berupa akumulasi pengalaman, pandangan, lingkungan, dan latar belakang sang seniman. Melalui potret diri, seniman menampilkan dirinya sebagai individu yang konon, punya kelebihan yang jarang dipahami oleh ‘orang kebanyakan’. Potret diri seakan menjadi tempat individu bertamasya menjelajahi diri untuk kemudian ditransmisi keluar.

“Dalam prosesnya, seorang seniman memposisikan diri sebagai komunikator sekaligus komunikan, yang berkomunikasi dengan dirinya sendiri (interpersonal), berdialog ataupun bertanya dan kemudian dijawab oleh dirinya sendiri. Maka melalui karya potret diri, seniman memunculkan ekspresi dari kepribadian mereka,” kata Rizki.

Melalui potret diri, seniman mempelajari masalah-masalah umum dengan membaca diri sebagai “bagian” dari dunia. Dalam pameran ini, potret diri menjadi perwujudan individu seniman tidak hanya cerminan personal, tetapi juga menjadi sebuah rangkuman keadaan yang menstimulus individu sebagai subjek.

Maka pada beberapa beberapa karya, para perupa seolah berakting dengan berbagai ekspresi serius atau menampilkan wajah yang hanyut dalam perasaan, untuk mengekspresikan ide atau gejolak dalam dirinya.

Namun Rizki mencatat, pendekatan seniman modern dan kontemporer terhadap potret diri telah menjadi lebih konseptual dari pada representasi langsung. Dalam literatur seni rupa, misalnya, seniman Louise Bourgeois 'Torso, Self-Portrait adalah patung antropomorfik surealis yang menggabungkan kesuburan wanita dan ketidakberdayaan dalam tubuh “berbentuk buah pir”, karya Instalasi Tracey Emin yang menghadirkan  tempat tidurnya sendiri, lengkap dengan botol minuman keras, puntung rokok, seprai bernoda, dan pakaian, sebagai unkapan  akibat dari kehancuran dirinya.

Atau Tormented Self-Portrait karya Ashley Bickerton yang berasumsi bahwa karya tersebut merupakan potret dirinya, dengan mengusulkan tampilan abstrak yang terdiri dari logo dari beragam produk sebagai bentuk baru ekspresi diri dan identitas bagi masyarakat konsumeris.

Hal itu terlihat juga pada beberapa karya potret diri yang dipamerkan di Galeri SOS. Karya-karya seperti ini menimbulkan pertanyaan “apakah keserupaan merupakan bagian penting dari potret diri?”, “apakah sah dalam konteks potret diri ini, seorang seniman menghadirkan objek lain sebagai representasi diri senimannya?”

Menurut Rizki, ketika hal ini dibaca dengan ukuran formal figuratif seperti halnya yang di lakukan oleh sejarawan seni Arturo Galansino dan Lisa Smit yang kemudian menarik batas antara potret diri dan ekspresi diri. Smit percaya bahwa "setiap karya seni adalah pribadi dan membawa identitas pencipta, tetapi itu tidak berarti mereka adalah potret diri”, dan bagi Galansino, “potret diri harus mewakili fitur atau atribut artis. Ini adalah aturan yang ketat!".

Pameran self-Portrait kali ini merupakan upaya membaca kembali posisi self-portrait sebagai bagian dari pergulatan penciptaan karya seni rupa. Pengembangan standar konvensi seni lukis sebagai cikal bakal kelahiran self-portrait atau memperlebar pada teknik yang merambah masuk pada era digital yang kemudian memunculkan “kemungkinan lain“ mengenai self-portrait itu sendiri.

Dari 165 karya, para seniman “menampakkan diri” seniman pada karyanya dengan berbagai pendekatan teknik dan dinamika personalnya. Hal ini pada akhirnya memunculkan karakteristik yang khas dari tiap personal dan menjadi nilai pembeda antara seorang seniman dan seniman lainnya, kemudian karakteristik personal yang berbeda antarseniman menjadi hal unik yang bisa digali dengan lebih mendalam.

“Meskipun kecenderungan karyanya menawarkan hal yang sangat personal, tapi tidak menutup kemungkinan juga akan menghadirkan keterbukaan, empati, dukungan, perasaan positif, kesamaan atau bahkan gugatan, yang membentuk keakraban dalam pengalaman yang berbeda pada berbagai situasi dengan berbagai efek dan beberapa umpan balik yang terjadi seketika, bisa berupa kesamaaan dalam bentuk ruang lingkup pengetahuan maupun ruang lingkup pengalaman,” papar Rizki L. Wiguna. (Penulis: I.H_rupadankata)


Share on Google Plus

About rupadankata

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar