Melawan Covid Lewat Pameran “Seni Rupa Jawa Barat untuk Seniman Jawa Barat”

Beberapa Karya Yang Dipamerkan di Pameran Online "Seni Rupa Jawa Barat Untuk Seniman Jawa Barat
Sumber Foto: Instagram Galeri Pusat Kebudayaan

Perang melawan virus corona tak hanya dilakukan umat manusia, para kesatria di negeri wayang pun tak mau ketinggalan. Mereka bekerja sama dengan tenaga kesehatan untuk membasmi virus yang kini telah menginfeksi lebih dari 10 juta jiwa di dunia.

Perang melawan Covid-19 ini dihadirkan perupa Ating Sudirman melalui drawing pena di atas kanvas 50 X 60 Cm. Dalam drawing berjudul “Virus II” ini, peperangan terjadi di darat dan udara. Di darat, seorang kesatria membidikkan busur panah, tak jauh darinya seorang kesatria lain tergeletak bersama mayat-mayat yang tampak mengambang.

Di kejauhan, tampak tenaga medis ber-APD lengkap termasuk pakaian hazmat juga membidikkan senjatanya, seorang rekannya tergeletak. Sedangkan di langit, virus corona digambarkan sebagai raksasa yang mengamuk dengan wajah mirip srigala bertaring. Korban berjatuhan di pihak wayang maupun tenaga medis.

Drawing lainnya, seorang perempuan berkerudung duduk di atas tumpukan batu. Wajahnya bermasker dan tertunduk. Yang ganjil, batu tempat duduknya ditumpuk menyerupai piramida terbalik sehingga posisi si perempuan tampak rentan. Dia juga memeluk anaknya yang berselimut bayi. Drawing berjudul “Tenanglah Jiwa” ini karya Ahmad Nurcholis.

Drawing-drawing tersebut dipamerkan dalam Pameran Online Donasi untuk Seniman Terdampak Pandemi 26 Juni-26 Juli 2020: Seni Rupa Jawa Barat untuk Seniman Jawa Barat, di Gedung Pusat Kebudayaan (GPK), Jalan Naripan, Bandung. Pameran bisa disimak di Instagram galeri_pusatkebudayaan, institutdrawing, bdgconnex. Pergelaran pameran didasari solidaritas untuk seniman, khususnya perupa, yang terdampak krisis ekonomi akibat wabah Covid-19.

Seperti diketahui, penyakit infeksi baru yang menimbulkan wabah global sejak akhir 2019 itu memengaruhi segala lini kehidupan manusia. Tak terkecuali pada seniman maupun karya-karyanya. Ada perupa yang optimis di tengah pandemi, seperti disampaikan Alexandreia Indri Wibawa, perupa peserta pameran lainnya, melalui drawing “Life Goes on”. Lewat drawing 45 x 32 Cm dengan media pena dan cat air ini tampak petugas pemakaman berpakaian hazmat sedang menurunkan peti mati ke liang lahat. Namun tak jauh dari makam, ada pohon berdaun merah dan hijau dan berbuah, sekor kucing hitam bermain-main di sekitar pohon tersebut.

Suasana pandemi juga terasa pada drawing Dede Wahyudin lewat “New Normal”. Pada gambar 35 X 20 Cm dengan media pensil di atas kertas ini tampak gambar hitam putih kerumunan orang memakai masker termasuk anak-anak. New Normal juga dihadirkan Epi Gunawan lewat drawing “Kebiasaan Baru” yang menampilkan seorang anak yang meringis ketakutan ketika tangan-tangan bersarung tangan putih milik tenaga kesehatan mengambil sampel dari hidungnya. Drawing 29,7 x 42 Cm ini dibuat dari pensil di atas kertas.

Ajakan hidup bersih disampaiakan Gus Bachtiar melalui drawing “Cuci Tangan” 29 X 40 cm. Gambar dengan media pensil di atas kertas ini menampilkan sepasang tangan sedang dicuci dengan air mengalir deras, ada busa sabun yang lenyap oleh bilasan air, ada air yang menyerupai virus korona.

Perhatian pada tenaga medis juga datang dari drawing Kidung Purnama, “Aku Tidak Menyerah”. Drawing dengan kertas 40 X 55 Cm dari acquarelle dan pen ini menampilkan pemandangan kota yang padat dengan gedung-gedung tinggi. Seorang tenaga medis perempuan menjadi latar belakang kota tersebut. Dia mengenakan pakaian dokter, wajahnya tertutup masker, hanya matanya yang bundar besar yang terlihat.

Tema-tema Covid-19 lainnya hadir lewat beragam drawing seperti “PSBB Bragaweg” karya Muammar Haikal Gibran, “Stock Lockdown” karya Nurlita, “Crisis #2” Rendra Santana, “Stay at Home” dan “Pohon Penangkal Corona” Tisna Sanjaya, “New Normal Pasar Majalengka” Muammar Haikal Gibran, “New Normal” Rudi St Darma dan lain-lain.

Pameran ini diikuti 125 perupa yang menghadirkan 200 karya lukisan maupun drawing. Tema yang mereka olah tidak selalu tentang Covid-19. Misalnya, Besti Rahulasmoro yang menyajikan “Dinner”, sebuah drawing tentang menu makan malam yang terdiri dari protein hewani dan nabati. Namun di atas makanan tersebut terdapat sepasang kekasih. Drawing dengan media pena dan cat air di atas kertas ini berukuran 29,7 x 42 Cm.

Lalu, Dado Bima Sena menyajikan “Ceu Marilyn Monroe”, yaitu sosok artis legendaris Marilyn Monroe yang dibikin dari charcoal dan pensil di atas kertas 20 X 30 Cm. Kemudian, Yus R Arwadinata yang menampilkan pesepeda dengan latar Kota Bandung.

Keragaman tema drawing yang diolah para perupa di pameran online ini juga bisa dilihat dari karya Agus Zimo melalui “Slow Market”, tentang keriuhan pasar yang tampak surealis, dan Anton Susanto melalui “Byakta Citraloka #2” tentang panorama alam, dan Isa Perkasa menghadirkan beberapa drawing kritis, antara lain, “Politik Dinasti”.

Tak sedikit perupa yang memamerkan lukisan dengan media cat minyak. Seperti yang dilakukan perupa senior Acep Zamzam Noor yang menghadirkan “Lanskap 1”, sebuah lukisan abstrak dari akrilik di atas kanvas 55 x 45 Cm. Kemudian, Mhazyanta lewat lukisan “Berdoa”. Lukisan acrylik di atas kanvas 30 x 40 Cm ini berupa sosok pemain ketoprak dengan kostum tradisional yang sedang berdoa. Lukisan ini menyikapi wabah korona seperti bisa dilihat dari masker batik yang dipakai pria pemain ketoprak.

Lukisan minyak lainnya hadir lewat “Covid -19” karya Iskandar Abeng, Iwan Isamel (The Mask), Edi Dolan (Rajah Korona (Kaligrafi Aksara Sunda)), dan lain-lain. Di luar media-media mainstream, ada pula perupa yang mengolah karyanya dengan potongan kramik dan kulit telur seperti yang dilakukan Rendra Santana dan Indra Gunadharma.

Dari sisi kekaryaan pameran ini menghadirkan karya beragam, kata perupa Isa Perkasa, konseptor sekaligus kurator pameran. Banyak seniman yang mengolah konsep, teknik, dan media yang tergolong baru atau dengan pendekatan dan pengungkapan baru. Hal ini tak lepas dari beragamnya latar belakang seniman yang berasal dari berbagai daerah di kabupaten/kota di Jawa Barat dan terdiri dari lintas generasi, antara usia 40 tahun ke atas sampai junior.

Ada sejumlah karya yang dinilai Isa di luar dugaan dengan gaya yang ditampilkan lebih berani. Karya mereka diyakini akan menjadi pencerahan baru bagi seni rupa Jawa Barat. “Saya menyebutnya seni rupa Jabar sudah pede sekarang karena banyak melahirkan komunitas kekaryaan yang sama dengan seniman nasional,” kata Isa Perkasa, saat dihubungi Rupa dan Kata, Minggu 6 Juli 2020.

Teknik dan konsep baru tersebut banyak lahir dari para seniman muda atau baru yang selama ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah setempat namun mendapatkan fasilitas lewat media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter dan lain-lain. Fenomena ini diyakini akan mewarnai perkembangan peta seni rupa Jawa Barat.

Bahkan para seniman muda tersebut dinilai lebih percaya diri dibandingkan seniornya. Mereka berekspesi dan berkomunikasi lewat media sosial bukan hanya dengan seniman dalam negeri melainkan dengan seniman internasional. Nilai seni mereka dinilai tidak kalah dengan nilai seni para seniman internasional yang banyak memamerkan karya di media sosial.

Karya yang mereka garap terdiri dari beragam aliran, mulai modernis hingga kontemporer. Salah satu karya yang terpengaruh perkembangan media sosial antara lain drawing-drawing hiperalis. Mereka menggambar ojek dengan detail sangat lengkap sehingga objek tersebut terlihat seperti aslinya. “Mereka tidak lagi terjebak pada objek pemandangan dan sejenisnya,” kata Isa.

Gambar dan lukisan yang dipamerkan rata-rata dibikin tahun 2020, tepatnya sejak pandemi masuk ke Indonesia. Saat open call pameran, penyelenggara sengaja tidak menyiapkan tema khusus mengingat tujuan pameran untuk menggalang donasi bagi seniman terdampak Covid. Meski demikian, tidak sedikit seniman peserta pameran yang menggarap tema Covid.

Isa mengatakan, pameran ini terjadi di masa darurat. Pihaknya tidak ingin memberatkan seniman peserta pameran dengan banyak persyaratan, termasuk soal tema. Kriteria karya yang disertakan pun sangat longgar, misalnya ukuran karya dibatasi maksimal 50x100 cm, karya tidak dibingkai, dan karya yang disertakan boleh karya lama.

“Karya yang sudah ada di rumah senimannya bisa dipamerkan, karena kalau nunggu karya baru bakal lama. Meski ada juga karya-karya baru, juga membahas pandemi, tapi karena ini untuk donasi kita pikir bagaimana agar si karya bisa terjual cepat sehingga tidak ada batasan tema,” kata Isa.

Tak heran jika dalam pelaksanaannya pameran ini melahirkan karya yang semarak dan beragam tema. Dalam situasi pandemi sendiri sebenarnya para seniman banyak yang produktif berkarya, meskipun ekonomi mereka terganggu.

Pangsa pasar yang menjadi target pameran ini adalah kalangan awam, bukan kolektor atau kalangan pecinta seni rupa. Dampak dari pandemi membuat banyak kolektor yang nyaris gulung tikar dan tiarap. Mereka memilih “puasa” membeli barang seni selama pandemi.

“Karena kolektor-kolektor serius seni rupa ketika kita hubungi sulit. Jadi kita sasarannya nyari kolektor atau pasar baru,” kata Isa.

Latar belakang pembeli karya memang kebanyakan kalangan awam atau pemula, mulai dari pengusaha, pejabat hingga ibu rumah tangga. Karya yang mereka pilih pun tidak rumit-rumit, yang penting nyaman dilihat dan cocok buat pajangan di dalam rumah. Sehingga jika pameran ini mematok tema khusus dikhawatirkan tidak ada pembeli. “Meski ada juga satu dua kolektor yang beli,” ujar Isa.

Sementara dari sisi harga, karya di pameran ini terbilang murah meriah, dimulai dari Rp500 ribuan sampai di bawah Rp3 juta. “Karena pameran ini penggalangan dana jadi harga karyanya lebih miring,” kata Isa. Harga tersebut dinilai tidak akan memberatkan calon pembeli yang kebanyakan kalangan awam atau bukan kolektor serius. Jika harga yang dipatok terlalu tinggi, karya-karya di pameran ini diprediksi tidak laku.

Total karya yang terjual dalam pameran ini sebanyak 22 karya. Dana yang terkumpul sekitar Rp40 juta, dan sudah disalurkan kepada seniman terdampak sekitar Rp10 juta. Skema donasi minimal 30 persen dari setiap satu karya yang terjual disumbangkan kepada seniman terdampak, 70 persen lagi untuk seniman pemilik karyanya. Meski ada juga seniman yang mendonasikan 50 persen atau lebih.

Penyaluran donasi dilakukan berdasarkan dana yang terkumpul setiap kali ada karya yang laku. Misalnya hari ini ada sekian rupiah, maka panitia akan menghubungi koordinator seniman di daerah untuk mendapatkan data seniman terdampak. Nantinya koordinator akan menyetorkan nama-nama seniman terdampak, selanjutnya dana ditransfer.

“Jadi kita mendatanya belakangan begitu dana sudah siap. Kita tidak mau melakukan pendataan karena takut memberi harapan palsu seperti janji-janji bansos selama ini,” ucap Isa.

Semua seniman merasakan pukulan telak karena pandemi Covid. Mereka banyak dijanjikan bantuan, tapi bantuan tersebut tak kunjung nongol. Kenyataan ini menuntut seniman untuk mandiri, bikin karya senidir, dipamerkan untuk menggalang dana yang hasilnya disalurkan langsung ke sesame seniman.
 
Seniman yang menjadi sasaran hasil galang dana ini terutama seniman seni rupa di daerah, walau ada juga seniman di luar ranah seni rupa yang dapat sumbangan. Isa menuturkan, kondisi seniman di daerah sangat memprihatinkan akibat pandemi. Mereka umumnya murni berkarya dan tidak punya penghasilan lain. Sementara jaringan atau akses pasar mereka juga terbatas. Kondisi tersebut berbeda dengan seniman di kota yang terbantu dari sisi akses.

“Di daerah selama pandemi ini boro-boro bisa jual karya sejuta dua juta, seratus ribu saja susah. Tetapi dari sisi produktivitas, selama pandemi mereka justru produktif. Karya-karya mereka luar biasa. Lewat pameran ini kita jadi terjalin komunikasi dengan seniman di daerah. Ke depan kita mungkin akan memamerkan karya-karya mereka,” kata perupa jebolan ITB tersebut. (Penulis: Iman Herdiana)



Share on Google Plus

About rupadankata

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar