|
Walau sudah cukup lama almarhum, Galeri Dong Boo hingga kini masih dikenang kalangan seniman maupun pecinta seni rupa. Sebagian “alumnus” galeri legendaris di kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) itu masih berkarya, ada juga yang hijrah.
Jumat 13 April 2018 menjadi akhir dari pameran Next Page: Maybe I Still Get Hot. Tetapi sebagaimana temanya, ada “halaman” lain yang disiapkan sebagai kelanjutan dari pameran yang berlangsung di The Space, The Parlor, Jalan Rancakendal Luhur No 9 Bandung, itu.
“Next Page ini ibarat tajil (buka puasa), akan ada pameran lanjutan dari masing-masing senimannya, pameran tunggal,” kata kurator Next Page, Galih JK, saat berbincang dengan Rupa dan Kata.
Peserta pameran Next Page ialah seniman jebolan Galeri Dong Boo, galeri yang menjadi pusat berkumpulnya seniman maupun pecinta seni, sebagai ruang interaksi dan diskusi antara seniman dan publiknya, tak hanya seni rupa melainkan performance art, pertunjukan, musik dan lainnya. Galeri Dong Boo mengalami masa kejayaan terutama di era 2000-an di kala dunia seni rupa sedang bergairah-gairahnya.
Kurator
Galih JK berfoto di depan karya Kusratno (Aket) Sumber Foto: Iman Herdiana |
Menurut Galih JK, era 2000-an menjadi titik awal bagi seniman Galeri Dong Boo dalam membentuk wahana bermain sekalgus pencapaian estetis di masa boom seni rupa. Melonjaknya konsumsi seni di Asia seperti Cina berdampak besar pada perputaran produksi konsumsi seni Indonesia, termasuk Bandung.
Hingga memasuki 2008, boom seni rupa mengalami penurunan, minat investasi terhadap karya seni pun terjun bebas. Ironisnya, penurunan itu bersamaan dengan diruntuhkannya bangunan Galeri Dong Boo bersama ruang-ruang lain di UPI yang waktu itu menjadi basis kritis dan perlawanan, misalnya Gedung Pentagon.
“Dari runtuhnya Galeri Dong Boo sampai sebelum pameran ini istilahnya puasa. Jadi Next Page ini ibarat tajil buka puasa,” ucap Galih JK.
Kurator lulusan seni rupa UPI pasca-runtuhnya Galeri Dong Boo itu menuturkan, Next Page sebagai pameran yang mengumpulkan kembali seniman dan karya para seniman Dong Boo yang terpencar ke berbagai daerah. Galih JK sendiri menjadi kurator bersama Wan Ridwan Husen. Mereka dibantu Kusratno “Anket” dan lain-lain untuk mengontak dan mengumpulkan seniman jebolan Dong Boo.
Program lain yang disiapkan dari rangkaian Next Page ialah pameran tunggal masing-masing senimannya. Targetnya, dalam tiga bulan ke depan ada dua seniman yang pameran tunggal, yakni Tina Nuraziza alias Beni dan Haryadi ZD. Galeri yang disiapkan untuk pameran mereka antara lain Rumah Proses.
Galih berharap, semua seniman yang mengikuti Next Page bisa bertahan mengikuti program seni selanjutnya, meskipun seleksi alam yang menentukan.
Ada 11 seniman yang memamerkan karyanya dalam pameran
Next Page. Masing-masing memamerkan 2 sampai 4 karya seni rupa, termasuk
instalasi. Tina “Beni”, misalnya, memamerkan empat kepala boneka 30x40 cm mix
media.
Menurut Galih JK, Tina “Beni” merupakan seniman perempuan yang kerap tidur di Galeri Dong Boo. Tina juga paling disiplin dalam berkarya. Sebelum melukis, Tina menyiapkan dahulu cat yang diperlukannya, termasuk mencampur warna yang dikehendakinya. Cat-cat tersebut ia simpan ke dalam wadah yang diberi angka.
“Catnya seperti warna hasil digital,” ujar Galih JK. Pasca-runtuhnya Galeri Dong Boo pada 2008, Tina banyak terinspirasi oleh boneka. Maka dia mendalami seni 3 dimensi dengan membuat reflika boneka-boneka. Boneka tersebut dibikin sesuai karakter Tina sendiri dengan pendekatan psikoanalisi. Ia merespons dorongan dan ganjalan dalam diri untuk kemudian ditumpahkan lewat boneka handmade-nya, salah satu bonekanya bernama Mibeni.
Mibeni merupakan karya yang dibingkai kayu mirip nampan berbentuk oval. Dari nampan itu menyembul kepala boneka dan dua tangannya, sehingga dia tampak seperti dalam pasungan. Wajah Mibeni putih dan pucat, mulutnya monyong mengemut sebatang rokok, rambutnya berbentuk jambul putih mirip anjing Cihuahua, sedangkan pergelangan tangannya terkulai.
“Mibeni seperti shadow kepribadian yang diterjemahkan ke dalam boneka. Tina membuat bonekanya secara manual, sehingga butuh skill tinggi,” ucap Galih JK.
Sementara Haryadi ZD memamerkan 6 karya berserinya
yang berjudul "Random Image", lukisan akrilik terdiri dari enam
bingkai yang jika digabungkan ukurannya menjadi 40x240 cm. Lukisan ini berupa
gambar kepala kuda dengan berbagai gaya dan ekspresi. Lukisan pertama, kepala
kuda dengan rambut bergelombang sebahu, mirip rambut perempuan. Ada juga kuda
dengan rambut dikepang, rol, poni, dan belah pinggir.
Lukisan tersebut pengandaian dari sang seniman berbekal teori evolusi Charles
Darwin. Bahwa jika hewan sebenarnya punya semacam kecakapan yang dalam
prosesnya kecakapan itu bisa mencapai kesempurnaan seperti manusia, cuma butuh
waktu yang lebih lama dari evolusi manusia. Sehingga mungkin saja nantinya
kuda-kuda pergi ke salon untuk berdandan modis seperti dalam lukisan “Random
Image”.
Galih JK menjelaskan, lukisan tersebut sebagai bentuk kritik Haryadi terhadap
teori penciptaan yang dianggapnya tidak logis. Bagi Haryadi, teori Darwinian
lebih relevan. Walaupun logika dan agama mungkin perlu titik temu yang berbeda.
Wan Ridwan Husen menambahkan, pameran ini juga mengangkat isu atau gejala
sosial yang muncul di masyarakat. Misalnya, Roni Brons mengangkat pengaruh
globalisasi lewat seni instalasi, isu kerusakan lingkungan diangkat Deni
Ramdani yang disajikan secara satire lewat rangka beton dan pasir.
Angga Renaldy A menghadirkan simbol "altar", Seniman Setia Pratama
“Ntek” memunculkan berbagai simbol sebagai awal dari bagaimana suatu proses
komunikasi. Lalu, Kusratno “Anket” mengangkat proses hijrahnya seseorang
sahabat dengan mencitrakan susunan potongan kayu dan disajikan ke dalam karya
utuh.
Di sisi lain, Rani Emonk mengungkapkan karya “menempuh hidup baru” yang diwujudkan dengan dua karya dengan makna sendiri, Sri Hartati mengajak pengunjung pameran untuk mencari kesenangan, membahas sisi menarik dari sebuah karya, serta kenyamanan dalam warna.
Kemudian, Teguh Pratama mengangkat kesehariannya dahulu ketika sempat akrab dengan wacana seni rupa modern di mana Van Gogh sempat menjadi semacam pantan pada masanya di GDB. Dan karya Mia Meilia menampilkan objek figur dalam bentuk keramik sebagai pengingat dari antara sadar terhadap batasan seseorang dan kemauan berbuat lebih.
“Pada akhirnya, pola sebuah komunitas yang sudah menjadi ciri khas akan selalu tampak sama meskipun sudah melewati waktu lama,” kata Wan Ridwan, menilai pameran karya para seniman Galeri Dong Boo. Wan Ridwan lalu mengutip kalimat mendalam dari JW von Goethe, “Kita dibentuk dan dijadikan oleh apa yang kita cintai.” (Penulis: Iman Herdiana)
0 comments:
Posting Komentar