Asbestos, Ruang Pamer Tubuh di Bandung

Performance Art: Futoshi Moromizato Pada Acara
Performance Art Festival "Fragile" di Asbestos Art Space (2017)
Sumber Foto; Asbestos
 

Ketika kanvas dirasa kurang bisa menampung ide seniman, tubuh pun jadi media seni. Tubuh menjadi media ekspresi, melawan dunia di sekitaranya, termasuk kritik terhadap estetika itu sendiri. Seni tubuh ini disebut performance art.

Salah satu komunitas yang konsisten menggelar performance art ialah Asbestos yang digagas seniman Mimi Fadmi dan W Christiawan. Komunitas ini menempati ruang di Jalan Martanegara 86 Bandung bernama Asbestos Art Space.

Asbestos berdiri sejak 2002 atau lima tahun pasca-reformasi, pendirinya Mimi Fadmi dan W Christiawan. Di awal berdiri, Asbestos tidak punya ruang menetap seperti sekarang. Mereka pentas di mana saja. Pentas perdananya digelar di Centre Culturel Français de Bandung (CCF Bandung) yang kini menjadi Institut Français d'Indonésie (IFI) Bandung. 

“Waktu itu saya masih mahasiswi. Kegiatan pertama tentang puisi aksi penyair tubuh,” Mimi Fadmi mengenang performance perdananya 16 tahun lalu di CCF, saat berbincang dengan Rupa dan Kata di Asbestos Art Space.

Dalam bincang-bincang tersebut, Mimi ditemani W Christiawan. Secara bergiliran, mereka menuturkan perkembangan Asbestos dalam menekuni performance art.

Banyak seniman Bandung yang turut mendukung performance art Asbestos, kebanyakan para perupa seperti Rahmat Jabaril, Tisna Sanjaya, Wawan S Husein, Tria Satria, Ade Suntara, dan penyair Acep Zamzam Noor. 

Tak berhenti di Bandung, Asbestos tur ke komunitas seni Tasikmalaya asuhan Acep Zamzam Noor yang juga aktif pelukis. Asbestos lalu tur ke sejumlah daerah di Indonesia hingga luar negeri seperti Jepang, Tailan, Filipina, Amerika Serikat, Jerman. 

Menurut W Kristiawan, performance art merupakan seni kontemporer yang muncul dari adanya kesenjangan dalam berekspresi antara ide seniman dan medianya, entah itu media seni rupa seperti kuas, kanvas, cat, pahat, bahan patung, dan sebagainya, maupun seni pertunjukan. 

Dosen teater Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung itu mengungkapkan, seniman merasa media seni rupa dirasa kurang mampu mewadahi imajinasi kreatifnya. Maka seniman memilih menggunakan tubuhnya sendiri sebagai media seni. Tubuh menjadi media pembauran ide atau kensep dengan alam dan kenyataan.

“Performance art menciptakan media bersama lewat tubuh seniman. Jadi medianya bukan lagi kanvas atau patung,” jelas W Kristiawan.

Perjalanan Asbestos menunjukkan bahwa seni pertunjukan tubuh ini bersifat internasional. Fenomena tubuh sebagai media seni masuk ke Indonesia terutama sejak 2000-an, ketika booming-boomingnya internet. 

Hal itu menunjukkan ada kegelisahan seniman secara internasional, kegelisahan terhadap media estetis yang terbatas.

Para seniman yang gelisah kemudian melakukan performance art, lalu berjejaring dengan seniman di luar negeri dan saling undang untuk performance art seperti yang dialami Mimi Fadmi. 

Awalnya, performance art berkembang sebagai kesenian alternatif dan dipertunjukkan di ruang-ruang alternatif. Namun dalam perjalanannya, performance art kemudian diterima di pendidikan-pendidikan seni terutama di kampus luar negeri. 

Performance art yang tadinya seni alternatif kemudian menjadi seni maindstream. “Awalnya performance art sebagai seni perlawanan hakekat seni lewat tubuh. Tapi kemudian menjadi babak baru yang belum ada di seni rupa atau pertunjukan sebelumnya,” katanya.

Performance art memiliki koor yang sama, yaitu ide seniman yang dituangkan dalam tubuhnya. Namun Kristiawan mengakui, performance art sering tertukar dengan seni tari atau aksi teatrikal. 

Padahal, performance art memiliki standar tersendiri dalam setiap pertunjukan. Ciri utamanya, kata Kristiawan, ada niat dari seniman itu bahwa pertunjukannya ialah performance art. Adegan, ekspresi atau gerak seniman dalam performance art bukanlah fiksi seperti pada seni pertunjukan, melainkan dilakukan secara nyata. 

“Apa yang ada di dalam pikiran dituangkan dalam aksi. Misalnya kalau berdarah, ya darah asli, benjol di kepala juga asli. Tidak ada rekaan, bukan fiksi,” katanya.

Asbestos menempati Asbestos Art Space sejak 2006, memiliki ruang pameran atau pertunjukan seluas 5x7 meter dan halamannya 12x5 meter. Di dua ruang tersebut sering dilakukan performance art, workshop atau kursus, bedah buku, pemutaran film atau sekedar diskusi.

Di samping rutin menggelar berbagai pertunjukan, Asbestos menjalankan fungsinya sebagai komunitas, yaitu memberikan edukasi dan sosialisasi tentang performance art. Program ini dijalankan di Asbestos Art Space. 

Asbestos pernah menggelar kursus performance art pada 2007. Kursus ini diikuti sejumlah seniman muda dan menghasilkan lulusan yang hingga kini konsisten menggelar performance art di daerah asal mereka.

Seniman yang mengikuti kursus ini antara lain Kelvin Atmadibrata (Sepersepuluh Space, Jakarta), Entri Somantri (Komunitas Ganesha, Sukabumi), Dapeng Limo (Pamafest, Malang), (Alm) Ilham J Baday (Arek Performance, Surabaya).

Kursus diberikan selama tiga hari dengan materi yang dipadatkan. “Durasinya sehari penuh yang terdiri dari teori dan praktek. Hari ketiganya digelar festival performance art,” kata Mimi Fadmi. 

Kini materi performance art diberikan sesuai permintaan baik di dalam maupun luar kampus. “Sampai sekarang saya memberikan materi performance art,” timpal Kristiawan.

Asbestos Art Space juga sering didatangi seniman dari luar negeri. Yang terbaru ialah agenda bertajuk “Fragile” yang melibatkan tiga seniman dari Jepang dan Filipina. Seniman luar negeri yang pernah performance art di Asbestos antara lain Boris Nieslony, Seiji Shimoda, Osamu Kuroda, Barbara Strum, Lorina Manlapaz Javier, Futhoshi Moromizato dan lain-lain.

Kristiawan menegaskan, meski kini performance art sudah menjadi seni mainstream, namun tetap memiliki ciri khasnya, yakni sebagai seni perlawanan yang tak bisa lepas dari konteks si senimannya. Contohnya, performance art seniman Indonesia mirip dengan Tailan, di mana konteks politik dan sosial selalu masuk dalam performance. Performance art seniman Indonesia dan Tailan terasa panas, sarat dengan kritik sosial-politik.

Beda dengan seniman Jepang yang performance art-nya cenderung dingin, kesepian, individual, terkucil, karena ada ketegangan identitas nilai tradisional dan modern.

Begitu pula Jerman di mana performance art-nya sama sekali steril dari politik, menunjukkan bahwa seniman di negara tersebut tidak memiliki masalah kritis, mereka hidup nyaman di negeri yang maju. Sementara performance art Cina bentuknya sangat Eropa, seperti seni rupa yang dipindahkan ke dalam tubuh. 

Performance art terbaru yang digelar di Asbestos Art Space bertajuk “Seni Banding” yang berlangsung Desember 2017 lalu. Pertunjukan ini menyikapi sebuah hajatan seni yang dinilai berbau pesanan penguasa. Performance art “Seni Banding” menolak event seni semacam itu. (Penulis: Iman Herdiana)



Share on Google Plus

About rupadankata

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar