“Selebrasi Sepi”, Ketika Tubuh Berada dalam Hingar Bingar dan Keheningan

( Sebuah Catatan dari Acara Workshop & Festival Performance Art di Cisolok, Sukabumi)

Ket Foto Karya Performance Art Dylan Christiawan - Sumber Foto: Besti Rahulasmoro

“Selebrasi Sepi” , itulah tajuk yang disuguhkan pada acara Workshop dan Festival Performance Art di Cisolok Sukabumi, pada tanggal 27-28 Februari 2016 yang lalu. Acara yang digagas oleh Entri Soemantri dan didukung oleh Asbestos Art Space Bandung dihadiri oleh anak-anak SMU, warga dan seniman performance art dari Bandung, Sukabumi, Jakarta dan Depok.

Ada yang menarik dalam rangkaian festival Selebrasi Sepi yaitu dengan diselenggarakannya workshop yang melibatkan anak-anak sekolah dan warga sekitar pada hari sabtu, (27/2). Dimana mereka belum memahami seperti apa kategori dan serpak terjang performance art itu sendiri. Workshop yang diikuti oleh 80 orang warga lokal dan anak-anak SMU berjalan kondusif. 

Ket Foto: W.Christiawan Sedang Memberikan Workshop - Sumber Foto: Entri Somantri

Materi workshop diberikan oleh W.Christiawan, berupa: pemutaran video, ceramah, pemetaan performance art dan pembuatan konsep. Setelah itu acara dilanjutkan diskusi bersama seniman performance art : Enti Soemantri dari Sukabumi, Ridwan Rau-Rau dan Arief Lasmi Darmawan dari Jakarta.

Ket Foto: Peserta Workshop Selebrasi Sepi - Sumber Foto: Entri Soemantri

Puncak acara “Selebarasi Sepi” berlangsung pada hari minggu (28/2) di awali oleh penampilan W.Christiawan. Sambil membawa gadget (tab) dan miniature perahu yang disimpan di atas kepalanya, W. Christiawan berjalan mundur dengan jarak tempuh kurang lebih 4 Km. Sampai dipantai ia berbaring di bibir pantai, membiarkan tubuhnya di sapu ombak. 


Ket Foto: Performance Art W. Christiawan - Sumber Foto: Besti Rahulasmoro

Acara kemudian dilanjutkan long March menuju Pantai Karang Hawu, Pelabuhan Ratu. Diikuti kurang lebih 20 lebih seniman dari Bandung, Sukabumi, Depok dan Jakarta. Para performance Art yang terlibat antara lain: Komunitas Kampung Ganesha, W.Christiawan, Mimi Fadmi, Superi, A. Eko Sutrisno, Dylan Christiawan, Santo Klingon, Arief Lasmi Darmawan, Entri Somantri, RR. Meta Wardhani, Rudi ST Darma, Aliansyah Chaniago, Besti.R, dan Ridwan Rau-Rau. 

Aksi tersebut mengundang perhatian masyarakat dan pengunjung pantai yang datang, tidak sedikit mereka mengikuti, penasaran apa gerangan yang akan terjadi.

Ket Foto: Saat Long Marc, Sumber Foto: Entri Soemantri

Sampai dilokasi, tanpa ada jeda lama, 14 orang jalan berjejer menuju bibir pantai. Pakaian, wajah dan tubuhnya dibalut warna putih, satu-satu melakukan gerakan tablo. Mereka adalah anak-anak SMU yang tergabung dalam Komunitas Kampung Ganesha.

Setelah itu aksi dilanjutkan oleh penampilan Mimi Fadmi, seniman performance art asal Bandung yang sudah malang melintang di event nasional dan Internasional. Berbalut kain samping, ia mengumpulkan sampah. Di pucak performancenya, Mimi menuju bibir pantai, dengan posisi telungkup membiarkan tubuhnya tersapu ombak, kemudian ia merangkak menuju gundukan sampah. Dengan susah payah akhirnya usahanya berhasil, sampah-sampah itu disimpan di atas tubuhnya. 

 

Ket Foto: Performance Art Mimi Fadmi - A.Eko Santoso - Arief Lasmy Darmawan - Superi

Tidak kalah menarik penampilan yang dilakukan oleh seniman performance lainnya, Seperti: A. Eko Sutrisno Mahasiswa STSI Bandung, sebongkah batu besar ia tarik di tengah pasir membentuk garis, lalu ia berbaring wajahnya ditutup pasir kemudian batu besar tersebut di simpan diatas kepalanya. Tidak berhenti sampai di situ, Eko kemudian berjalan menuju tengah pantai yang membuat semua orang was-was, lalu ia kembali menuju bibir pantai, melenggang dengan santai. Tampak dibelakangnya gulungan ombak, bagaikan pasukan tentara yang berjajar. 

Ada juga seniman asal Cisolok, Superi yang mengajak pengunjung makan kerupuk bersama. Lalu ada Arief Lasmi Darmawan (Nganga) seniman dari Jakarta, duduk bersimpuh sambil meniup seluling.

Ket Foto: Ridwan Rau-Rau - Besti - Rudi ST Darma - Komunitas Kampung Ganesha - Entri - Aliansyah - RR Meta - Santo - Dylan

Selama hampir 7 jam lebih, Masing-masing seniman menampilkan eksplorasi bagi performancenya dan pembukaan diri yang tidak terduga. Mengapa tidak, performance art yang biasanya dimainkan di wilayah yang elitis atau hanya dihadiri oleh publik seni, pada kesempatan di Festival Selebrasi Sepi harus berhadapan dengan ruangan yang lain, seperti: panorama pantai, pasir, batu karang, sinar matahari yang kuat. Alam menawarkan medium yang lain, bagaimana tubuh bersatu dengan alam. Tubuh yang biasanya hiruk akan rutinitas seperti diajak untuk melakukan selebrasi sepi. 

***

Membahas sebuah festival tidak melulu berisi kesibukan suatu perayaan, melainkan bagaimana sebuah perstiwa dimaknai ke dalam berbagai hal. Setidaknya sebuah festival bisa menjadi ruang jeda ditengah rutinitas untuk memasuki sebuah pengalaman yang berbeda. 

Festival Performance Art Selebrasi Sepi diharapkan dapat menjadi semacam muara pertemuan kreativitas yang mempertemukan seniman performance di berbagai kota maupun negara, mendekatkan jarak antara pemerintah dengan seniman, antara seniman dengan masyarakat. 

Menurut pandangan Rudi ST Darma, dengan adanya event seperti ini bisa dijadikan contoh untuk beberapa lini terutama hubungan yang harmonis antara birokrasi, dalam konteks ini adalah pemerintah daerah dan masyarakatnya yang cenderung heterogen. Festival performance art cukup mengakomodir hubungan tersebut, sehingga tumbuh sebuah kesadaran, bukan dalam pemahaman intersosial, namun bagaimana memanfaatkan SDM yang cenderung berkembang. Karena ini ada diwilayah pedesaan, diharapkan dapat seimbang dengan perkotaan, dalam konteks pemahaman intelektual. 

"Acara workshop dan festival Selebrasi Sepi bisa dikembangkan baik dalam skala nasional maupun internasional. Dimana media partner yang dikelola antar warganya cukup representatif. Kemudian ada situs dalam pemahaman wisata budayanya cukup memungkinkan menjadi daya tarik para performance yang kemudian akan diundang. Jika ini akan atau harus diteruskan”. Ujar Rudi ST Darma menambahkan.

Sedangkan menurut Santo Klingon (PAM Pening Art Movement) seniman dari Jakarta yang beberapa kali sudah mengikuti festival Performance Art di beberapa kota di Indonesia, merasa senang dengan adanya event seperti ini, terutama karena lokasinya yang diadakan di Pelabuhan Ratu. Bahkan disaat kondisinya sedang sakit, ia tetap memutuskan untuk datang “Karena ini bisa menjadi sejarah, khususnya daerah sukabumi dan menariknya ada anak-anak SMU yang main performance dan berhasil. Ini harus diteruskan” ujar Santo yang juga dikenal sebagai aktivis komunitas RTJ (Rumah Tanpa Jendela). 

Pengambilan Tajuk “Selebrasi Sepi” itu menurut W.Christiawan memiliki dua versi yang paradoks, dimana satu sisi ramai sedangkan di sisi yang lain sepi. Pemaknaannya dikembalikan kepada persepsi pribadi. 

“Seniman-seniman yang terlibat tidak sekedar dalam rangka membentuk jaringan antar berbagai kota, namun lebih dari itu bagaimana seniman performance art melibatkan masyarakat dalam situasi berkesenian”, ujar W. Christiawan menambahkan. 

Selebrasi dalam pengertian pencapaian tidak sekedar sebuah perayaan, namun dengan pemaknaan yang lebih dalam, sebuah perenungan dari tema-tema yang disampaikan oleh para seniman performance art yang tampil. Ini bukan akhir, melainkan awal. Setidaknya event seperti ini diharapkan bisa terus dikembangkan, tidak hanya sekedar temporar. (Penulis: Besti Rahulasmoro)

Share on Google Plus

About rupadankata

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar