Fat Velvet, Kolektif Para Perempuan Kreatif

Karina Sokowati dan Sasqia Ardelianca, pendiri Kolektif Kreatif Fat Velvet di acara Drop-In Dialogues
Sumber Foto: Iman Herdiana

Memang benar zaman semakin canggih di era teknologi informasi ini. Tatanan yang dibuat manusia banyak mengalami perubahan drastis. Tetapi di tengah perubahan itu, posisi perempuan tak jauh-jauh amat beranjak. Perempuan masih dipandang gender kedua setelah laki-laki.

Isu posisi perempuan menjadi salah satu faktor pembentukan Fat Velvet, sebuah kelompok atau kolektif perempuan yang bekerja di industri kreatif Bandung. Kelompok ini melihat dominasi kaum laki-laki atas perempuan terjadi di segala lini, tak terkecuali di dunia kreatif.

“Posisi perempuan, khususnya di bidang industri kreatif, menggerakkan kami, membuat kami resah,” kata pendiri Fat Velvet, Sasqia Ardelianca.

Sasqia mendirikan Fat Velvet pada akhir 2016, bersama rekan-rekannya yang sama-sama bergiat di industri kreatif, yakni Ayda Khadiva, Vienasty Rezqina, Fildza Nurulia Shabrina, Karina Sukowati, Lian Kyla Kizhaya.

Mereka sama berkegiatan di industri kreatif seperti arsitektur, desain, seni panggung, penyiar dan lainnya. Dari kesamaan latar belakang itulah muncul berbagai pertanyaan menyangkut posisi perempuan dalam industri kreatif maupun dalam kehidupan bermasyarakat pada umumnya.

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di antaranya, perbedaan besaran gaji antara perempuan dan laki-laki, juga mengenai masalah jaminan keamanan bagi perempuan yang bekerja di industri kreatif.

Fat Velvet kemudian tidak fokus atau berpusar pada masalah perempuan, tapi juga berbagai masalah yang dialami oleh pelaku industri kreatif hingga isu serius yang terjadi di masyarakat.

Fat Velvet punya program seminggu sekali berkumpul untuk membincangan isu terhangat. Acara kumpul-kumpul ini dikemas secara informal, diagendakan di media sosial, antara lain lewat Instagram Fat Velvet. Kegiatan ini terbuka untuk siapa pun yang berminat.

Salah satu acara yang baru digelar Fat Velvet ialah Drop-In Dialogues di Please, Please, Please! Cafe and Resto, Jalan Progo, Bandung, akhir April dan awal Mei 2018 lalu. Drop-In Dialogues merupakan acara literasi yang menyikapi menurunnya minat baca di masyarakat.

Sasqia mengatakan, Fat Velvet memang tidak melulu menyoroti posisi perempuan di masyarakat, apalagi berniat demonstras ke jalan untuk menyuarakan kesetaraan gender. Isu minat baca sendiri sebagai gejala umum di masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan.

Fat Velvet menilai, masalah literasi penting disikapi, terutama untuk menunjukkan bahwa perempuan bisa melakukan sesuatu untuk menjawab persoalan di masyarakat.

Maka digelarlah Drop-In Dialogues yang bentuk kegiatannya workshop penulisan dan pembacaan sastra. Untuk menggelar acara ini, Fat Velvet berkolaborasi dengan sejumlah komunitas, seniman, praktisi, seperti Amenkcoy dan Sundea, Wanggi Hoed, Christie Vaam Laloan, Mohamad Chandra Irfan, The Bubiemen, Gracia Tobing, Putri Elgabi, dan Paraudara.

“Dari situ kita bisa membuktikan bahwa penyetaraan gender tak harus teriak-teriak, tapi pelan-pelan lewat kolaborasi. Bahwa penyelenggara utama Drop-In Dialogues ini perempuan. Nanti orang akan melihat itu,” terang perempuan yang bergiat di bidang arsitektur.

Acara Drop-In Dialogues sendiri berangkat dari riset Fat Velvet tentang merosotnya mintat baca di masyarakat, khususnya di generasi muda. Karina Sukowati, pegiat Fat Velvet lainnya, mengatakan baca tulis sebenarnya kegiatan mendasar. Sejak kecil, orang sudah mulai diajari baca tulis. Namun ketika besar, kebiasaan tersebut justru ditinggalkan. “Nulis dianggap sulit. Padahal tinggal nulis,” kata Karina.

Acara besar lainnya yang pernah digelar Fat Velvet selain Drop-In Dialogues ialah penyikapan terhadap fenomena tato di masyarakat. Akhir-akhir ini tato menjadi fesyen di masyarakat khususnya anak muda, laki-laki maupun perempuan. Mereka memakai tato sebagai branding diri dan bagian dari kebebasan berekspresi.

Namun Fat Velvet tidak melihat fenomena tato dari permukaan saja. Menurut Sasqia, tato yang ada saat ini telah mengalami pergeseran luar biasa. Di masa Orde Baru, orang bertato justru mendapat stigma buruk di masyarkat, mereka dicap preman, penjahat, dan konotasi negatif lainnya. Di masa Suharto berkuasa, orang bertato justru menjadi korban penembakan misterius.

Event tentang tato yang digelar Fat Velvet November 2017 lalu, juga mengulas literasi sejarah tato di Indonesia. Sehingga generasi muda diharapkan melek sejarah juga. (Penulis: Iman Herdiana)


Share on Google Plus

About rupadankata

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar